Banyak yang mengatakan bahwa dia cantik, tapi aku tak peduli, dan banyak yang tidak mempercayai bahwa aku pernah memiliki hati Nira, aku pun tidak begitu peduli. Akupun merasa ini hanya sebuah kebetulan yang tidak disengaja, yang pada awalnya cinta buat kamipun mungkin hanyalah sebuah permainan konyol. Cinta memang tidak diciptakan untuk dijadikan permainan, itulah yang akhirnya aku rasakan, karena perasaan itu berkembang menjadi hal yang nyata dan hangat seiring berjalannya waktu.
Untuk para lelaki, hal yang harus kalian ketahui adalah jangan dulu minder jika kalian memiliki fisik yang C-, secantik, sepintar, atau sebaik apapun dirinya, ia tetap saja wanita, bukan berlian atau mutiara yang keras, memang benar tipe gadis seperti ini biasanya sulit dan selektif dalam menentukan pilihan, namun hatinya tetap saja lembut. So, jangan menyerah dulu sebelum kalian bertindak, dan bertindak pun tulus dengan tujuan menyentuh hatinya bukan mendapatkan keindahan atau kecantikannya.
Perasaan minder itulah yang selalu menghantui diriku saat bersama Nira yang coba aku lawan, dan hal bodoh yang aku lakukan adalah aku selalu menawarkan diriku untuk pergi dari dirinya sebelum perasaanku terlalu dalam, namun justru hal ini yang ujungnya membuat perasaan ku semakin lama semakin dalam dengan pesat. Karena setiap aku berkata, “Aku akan pergi”, Nira selalu berkata, “Jangan Pergi”, dan itu terasa sangat hangat dan tulus. Sangat simple tapi inilah hal termanis yang membuatku luluh.
Hubungan ku dengan Nira adalah hubungan yang berjalan dengan sangat simple, berpacaran hanya di rumah Nira, tempat makan, atau daerah kampus. Kami tidak pernah berpergian jauh hanya berdua, bahkan kami belum pernah nonton di bioskop berdua. Tapi satu hal yang bisa aku pelajari, bukan tempat lah yang membuat pertemuan kami manis untuk dikenang, tapi bagaimana kami mengemas pertemuan itu menjadi hal menarik, misalkan hanya dengan kamera, Setiap video yang kami rekam ataupun jepretan foto yang kami hasilkan membuatku tersenyum saat melihatnya. Nira adalah wanita yang membuatku bersemangat dalam mendalami fotografi, orang yang pertama kali mengklaim aku memiliki bakat di sini.
Sandaran lemasnya padaku saat ia selesai bertanding dalam sebuah kompetisi, genggaman hangatnya saat aku tertidur di kendaraan, Kecupannya saat kami tengah berfoto, air mata yang menetes saat kami sedang bersitegang, yang tidak mungkin terlupakan ialah sebuah memo yang Nira tempelkan di pintu mersi hijauku yang membuatku tak bisa menahan haru saat melihatnya ketika sampai di rumah, dan ini masih terus membayangiku ketika aku membuka pintu mobil itu. Semua itu tidak pernah aku duga sebelumnya dari seorang Nira, dan ini jelas sudah bukan sekedar permainan konyol.
Walaupun kami satu universitas, namun tetap saja kami sulit untuk bertemu, kami sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing, yang akhirnya membuat kami sering mengalami loose contact, hal ini lah yang menjadi duri dalam daging hubungan kami. Berakhirnya hubungan kami pun lebih dikarenakan masalah ini menurutku, walaupun Nira memberi penjelasan kepadaku bahwa ia tidak lagi memiliki perasaan lebih kepadaku, dilain pihak akupun sudah tidak bisa lagi menerima diacuhkan begitu lama, buat apa mempertahankan hubungan seperti ini, pikirku.
Ditinggalkan begitu lama tepat setelah aku benar-benar jatuh cinta pada dirinya dan yakin akan hubungan kami, tak mendapatkan perhatiannya saat sakit parah tengah menggerogoti hari-hariku, bahkan pada saat aku hampir menghilang dari bumi ini karena kecelakaan, kurasa semua ini cukup menjadi pertimbanganku untuk benar-benar mengakhiri hubungan kami.
Hubunganku dan Nira merupakan hubungan yang aku anggap paling kondusif, diawali dengan saling mengenal, saling mengisi, saling menjaga satu sama lainnya, serta seimbang antara hati dan logika.Menyesalinya? Tentu tidak, karena aku telah memberikan yang terbaik untuk Nira, hanya mungkin waktu yang Nira berikan padaku untuk membahagiakannya cukup sampai di situ.
Yang membuatku kecewa adalah kelanjutan setelah berakhirnya hubungan kami. Seharusnya kami bisa kembali menjadi sahabat. Seperti yang temanku katakan, If we can’t tear some page in a book, so we must throw that book faraway, mungkin ini yang ia mau.
0 komentar:
Posting Komentar